Cak Hermanto, begitulah ia lebih suka disapa. Meskipun para aktivis NU kerap memanggil dengan sebutan ustadz, namun pria yang pernah nyantri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fudhola' Pademawu Pamekasan itu tidak menginginkan label tersebut disematkan pada namanya karena alasan kesetaraan.
“Dengan sapaan Cak, saya lebih leluasa bergaul dan mudah diterima oleh siapa saja, utamanya mereka yang dianggap liar oleh masyarakat,” katanya saat ditemui reporter bintangsembilannews.com di kediamannya, Padangdangan, untuk menggali secara langsung berbagai fakta menarik tentang dirinya dan pergerakannya selama memimpin Ranting NU Padangdangan, Jumat (08/07/2022).
Ternyata, semua informasi yang diperoleh bintangsembilannews.com dari warga sekitar bukanlah fiktif belaka. Tidak heran jika pada masa kepemimpinannya, Ranting NU Padangdangan bagai bintang yang bersinar terang. Dan, dengan metode dakwah yang unik, ia mampu hadir sebagai Sunan Kalijaganya warga Padangdangan.
Lantas, siapa sebenarnya tokoh muda NU itu yang sampai saat ini bagai magnet bagi warganya serta menjadi orang tua bagi kaum muda di desanya.
Cak Hermanto Kecil hingga Dewasa
Tepatnya di Dusun Duwe’ Butir, Desa Padangdangan, Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep, pada 22 Februari 1990 Cak Hermanto dilahirkan dari pasangan Abd Salim dan Martina. Pria yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara itu dibesarkan dari keluarga sederhana. Bahkan, di tengah kondisi ekonomi yang sulit, kedua orang tuanya tidak pernah mengenyam dunia pendidikan.
Tak ingin bernasib sama, akhirnya setamat SD kedua orang tuanya menyekolahkan Cak Hermanto di Ponpes Al Fudhola', Pademawu, Pamekasan. Di Ponpes itulah, jiwa kepemimpinannya terbentuk. Hingga, memasuki jenjang pendidikan S1, dirinya diamanahi memimpin kepengurusan di Al Fudhola'. Bahkan, karena talentanya dalam memimpin santri dinilai baik, ia menjadi ketua pengurus tak tergantikan di masanya.
Selain sebagai leader bagi santri, ternyata Cak Hermanto adalah seorang tahfidz. Karena itu wajar jika ia mampu menyelesaikan S1-nya di STAIN Pamekasan dengan beasiswa tahfidz.
Seiring berjalannya waktu, pada 2014 Cak Hermanto memutuskan menikah dengan gadis di desanya. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai dua orang anak meski anak pertamanya yang lahir di tahun 2015 meninggal dunia.
Pada tahun 2015 itu pula, Cak Hermanto mulai tergugah melihat fakta anak muda di desanya yang dianggap melampaui batas kewajaran. Dirinya sadar bahwa pada dasarnya mereka adalah pemuda yang baik. Namun, karena korban pergaulan, akhirnya mereka tidak bisa membedakan antara yang baik dan buruk.
Menurut Cak Hermanto, mereka tidak memiliki orang tua dalam hal agama. Bahkan, oleh sebagian tokoh agama, mereka dianggap bukanlah sasaran dakwahnya. Sehingga wajar jika mereka selalu menjauh dari kegiatan yang berbau keagamaan. Padahal, bagi Cak Hermanto mereka berhak menjadi orang baik dan mendapatkan syafaat Rusullullah SAW. Sebab menurutnya, Nabi Muhammad SAW bukan hanya nabinya orang yang baik saja. Orang serpeti mereka juga memiliki hak atas Nabi SAW.
Atas fakta tersebu, Cak Hermanto segera berbuat sesuatu untuk menyelamatkan masa depan mereka, baik itu dari minum-minuman keras, obat-obatan terlarang dan lain sebagainya. Tak cukup hanya dengan menceramahi mereka dengan dalil halal dan haram. Satu-satunya cara jitu yang bisa dirinya lakukan adalah dengan pendekatan persuasif. Bahkan, dirinya berupaya menyerupai mereka dan memenuhi segala yang menjadi keinginan mereka. Sehingga tidak heran jika di tahun-tahun pertama bergerak, ia memperoleh stigma negatif dari warga sekitar.
Namun, apa yang dirinya tanam akhirnya berbuah manis. Baik tenaga, pikiran ataupun materi yang dikorbankan tokoh muda NU itu ternyata tidak terbuang sia-sia. Layaknya Sunan Kalijaga yang memperkenalkan Islam lewat kebudayaan, Cak Hermanto juga sukses ajak kaum muda di desanya mencintai shalwat lewat kesenian. Sehingga, secara perlahan dan pasti, mereka tidak lagi mengenal minum-minuman keras serta obat-obatan terlarang. Justru sebaliknya, mereka kerap menggelar pengajian di setiap hari besar Islam.
Adapun grup kesenian relegi yang sukses dibentuk Cak Hermanto di antaranya, musik tongtong Kacong Nuja (Nurul Jadid), Jam’iyah Shalawat Nurul Jadid, Jam’iyah Shalawat Alhamdulillah, Jam’iyah Al-Banjari Nurul Hasanah, Jam’iyah Al-Banjari Shoutul Ummah, Jam’iyah Al-Banjari Assalamah, Jam’iyah Al-Banjari Zahrotul Ummah, Jam’iyah Al-Banjari Al-Ikhlas, Jam’iyah Al-Banjari Al-Musthofa Al Mukhlisin, dan Jam’iyah Al-Banjari Alif Lam Mim. Atas kiprahnya itulah yang menjadi cikal bakal menjamurnya kesenian Al-Banjari di Pasongsongan.
Sementara itu, nama-nama kelompok pemuda yang ia bentuk antara lain, Matap (Majelis Anak Duwek Butir Padangdangan), Kompak (Komunitas Pemuda Ambunten Barat Kreatif), dan Mapan (Majelis Anak Muda Padangdangan).
Begitulah sekelumit upaya Cak Hermanto yang
berdarah-darah demi memperjuangkan masa depan anak muda, khusunya di desanya
agar tidak menjadi korban dari pergaulan bebas. Semoga, apa yang dilakukan
Ketua Ranting NU Padangngan itu menjadi inspirasi bagi kita, khusunya para
aktivis NU agar tidak berjarak dengan siapa pun, lebih-lebih mereka yang termarjinalkan
karena pemahaman keagamaan yang eksklusif. Wallahu a’lam
Ditulis oleh Redaktur bintangsembilannews.com
0 Komentar