Setiap tanggal 21 Juni, bangsa Indonesia
merayakan Hari Krida Pertanian (HKP). Penetapan HKP tersebut didasarkan pada
tinjauan astronomi tentang posisi matahari yang diyakini sebagai pergantian
atau permulaan musim untuk bercocok tanam kembali.
Karena itulah, pada momentum tersebut, Ketua
Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Pasongsongan, Abdul
Gaffar, berharap agar pemerintah menghargai para petani, utamanya petani
tembakau yang pada bulan ini juga mulai menanam tembakau. Sebab, menurutnya,
HKP sendiri merupakan hari penghargaan bagi masyarakat yang bergerak di sektor
pertanian,
Bentuk penghargaan kepada petani tembakau, menurut
dirinya, tidak cukup hanya dengan menggelar acara seremonial HKP.
“Akan jauh lebih penting jika pemerintah
lebih serius memperhatikan harga jual tembakau, sehingga petani tembakau tidak
selalu dirugikan. Itulah yang semestinya dilakukan pemerintah sebagai bentuk
penghargaan kepada para petani tembakau,” ungkapnya kepada NU Online
Pasongsongan saat dijumpai di kediamannya, Desa Soddara, Kecamatan
Pasongsongan, Senin (21/06/2021).
Namun, Abdul Gaffar melihat, dalam beberapa
tahun ini, petani selalu dirisaukan oleh anjloknya harga tembakau.
“Modal yang mereka keluarkan tidak seimbang
dengan hasil yang diperoleh. Ironisnya, tidak sedikit di antara mereka yang mengalami
kerugian besar,” paparnya.
Atas fakta tersebut, dirinya menemukan tidak
sedikit petani, khususnya di Pasongsongan, memutuskan untuk tidak lagi menanam
tembakau.
“Kalaupun ada, paling tidak mereka hanya
menanam sedikit bibit tembakau,” imbuhnya.
Terkait naiknya tarif cukai hasil tembakau
(CHT) yang hampir terjadi dalam setiap tahunnya, pria yang akrab disapa Gaffar berasumsi
bahwa hal tersebut berimplikasi terhadap turunnya produksi industri hasil
tembakau (IHT), sehingga juga berimbas pada menurunnya serapan tembakau.
“Jadi, kenaikan CHT membuat petani berada
dipihak yang paling dirugikan akibat semakin berkurangnya serapan tembakau,” tandasnya.
Sementara, kompensasi bagi pihak-pihak yang
terdampak atas kenaikan CHT melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT), baik itu berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun yang lainnya, menurut
Gaffar bukanlah solusi yang tepat.
“Dulu, tidak ada bantuan ini dan itu.
Namun, para petani mampu membangun rumah saat panen tembakau. Artinya, menstabilkan
harga tembakau seperti semula jauh lebih penting daripada sekadar memberikan
kompensasi atas kenaikan CHT tersebut,” tandasnya.
Untuk itu, kenaikan CHT tanpa solusi yang
memihak kepada buruh tani tembakau, menurut Gaffar dinilai tidak adil.
Lebih-lebih, kenaikan CHT tersebut terjadi di tengah kondisi negara sedang
berjuang melawan pandemi corona.
Pewarta: Totok
Editor: Ahmad Junaidi
Dokumen: MWCNU Pasongsongan
0 Komentar