Oleh: Agus Sugianto*
Membicarakan
republik ini,
tentu saja tidak lepas dari salah
satu ormas Islam dengan basis massa terbesar di Indonesia yang berdiri sejak 1926, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya,
ormas yang didirikan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari itu mampu mewarnai pasang surut perjuangan dan perpolitikan di republik ini, baik pada era pergerakan, kemerdekaan, orde lama, orde baru
hingga era
reformasi. Karena itulah, untuk memamahi pergerakan
serta orientasi politik NU secara
menyeluruh, menurut Martin van Bruinessen
(LKiS: 2009) hendaknya terlebih membagi NU dalam beberapa periodesasi.
Sepuluh tahun setelah merdeka,
Indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu) untuk pertama kalinya pada 1955.
Pemilu tersebut menggunakan sistem multipartai yang diikuti 172 peserta partai
politik (parpol). Sedangkan NU yang saat itu sebagai salah satu peserta dari
ratusan partai politik tersebut menghasilkan suara memuaskan.
NU yang semula
berdiri sebagai jam'iyah diniyah ijma’iyah akhirnya memilih
menjadi partai politik. Padahal jauh sebelum itu, NU sudah mendirikan partai politik bersama dengan
organisasi islam lainnya, seperti Partai Masyumi.
NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidak
cocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang menurut
keyakinan NU sangat merugikan perjuangan Islam dan nasionalis. Kemudian NU
menjelma partai politik dari tahun itu hingga 1984.
Keputusan NU untuk
menjadi partai pada 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur
organisasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya,
keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi
partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke
khittah. Seruan kembali ke khittah 1926 muncul kembali pada 1971. KH. Achmad
Siddiq menegaskan bahwa Khittah NU tidak dirumuskan berdasarkan teori yang ada,
tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh
tahun lamanya. Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi
pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan
organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah
memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama
dan keindonesiaan. Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat
sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke
khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo. Kemudian
naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah
Nahdliyah
Bagi NU yang sudah
kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan ini, politik
hanya instrumen mencapai tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Sebab itu,
politik yang dipraktikkan NU secara struktural adalah politik kebangsaan,
politik keumatan, politik kerakyatakan, dan politik yang penuh dengan etika,
bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan
semua cara. Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, banyak aspirasi dari warga nahdliyin
yang menginginkan agar NU membentuk partai sebagai wadah aspirasi untuk
memperjuangkan warga NU pada khususnya dan umat islam pada umumnya.
Akhirnya, pada 23 Juni 1998 (Abdul Halim: 2013) terbentuklah partai politik
yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
PKB langsung ambil
bagian di pemilu 1999 yang diikuti 49 peserta dan memperoleh jumlah suara yang
mengejutkan sebagai partai pendatang baru. PKB menempati posisi ke-3 dengan
13.336.982 suara. Sejak saat itulah, PKB yang lahirnya dibidani oleh NU terjun
ke politik praktis. Di mana puncak dari perjuangan PKB dengan mengantarkan
ketua umum PBNU KH. Abdurahman Wahid menjadi presiden ke 4 negeri ini.
Tak berapa lama kemudian, partai besutan NU ini mengalami perpecahan. Perpecahan ditubuh PKB terjadi dan berawal dari pemecatan
sepihak tehadap Matori Abdul Jalil oleh
Dewan Syura PKB dari posisinya selaku Ketua Tandfidz Dewan Pengurus PKB.
Pemecatan Matori tersebut dilatarbelakangi kehadirannya saat Sidang Istimewa
MPR 2001 yang digawangi oleh Amien Rais untuk menjungkalkan Gus Dur dari kursi
kepresidenan yang kemudian digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Untuk kali kedua PKB
kembali dilanda konflik internal.Muktamar PKB di Semarang pada 2005 memilih
Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum yang baru, sedangkan Gus Dur duduk sebagai
Ketua Dewan Syura. Cak Imin adalah keponakan Gus Dur. Namun, menjelang Pemilu
2009, internal PKB kembali bergolak. Cak Imin dipecat dari jabatannya. Cak Imin
dan para pendukungnya tidak terima, kemudian mengajukan gugatan terhadap Gus
Dur ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Isu Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB pun
mulai mengemuka. Dan akhirnya lewat MLB Ancol
memutuskan Cak Imin kembali duduk sebagai Ketua Umum PKB, sekaligus mendepak
Yenny Wahid dari jabatan Sekretaris Jenderal PKB dan menunjuk Lukman Edy
sebagai penggantinya. Posisi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro juga digantikan
oleh KH Aziz Mansyur. Putusan pengadilan semakin menguatkan penguasaan kubu Cak
Imin atas PKB (Kompas, 18/05/2009).
Gus Dur memilih diam
dan perlahan tetapi pasti mulai meninggalkan kancah politik hingga akhir
hayatnya. Di bawah kendali Cak Imin pasca polemik, perolehan suara PKB di
Pemilu 2009 merosot drastis, yakni hanya meraih 5.146.122 suara dan anjlok ke
urutan 7. Jatah kursi di parlemen nyaris berkurang separuhnya, yakni cuma
mendapat 27 kursi. Pergolakan di tubuh PKB
masih terus berlanjut saat pemilu 2019 lalu.
Di mana Yenny Wahid tidak memperkenankan
foto Gusdur digunakan sebagai atribut dan alat kampanye pada pemilu tersebut.
Dari beberapa rentetan
peristiwa tersebut, sejak masa pergerakan hingga reformasi, terlihat bahwa NU
masih setengah hati untuk melakukan gerakan kembali ke khittah. Hal tersebut
sangat gamblang bisa kita lihat ketika NU membidani lahirnya parpol PKB. Di satu
sisi NU akan kembali menjadi organisasi sosial keagamaam dan
kemasyarakatan sesuai dengan tuntutan khittah 1926, tapi di sisi lain NU masih
terlibat politik praktis dengan mendirikan PKB. Jadi, jelas terlihat bahwa NU masih
berdiri di dua kaki. Padahal jika NU konsisten dengan khittahnya, maka NU tidak
perlu turun gunung membidani lahirnya PKB, dengan kata lain NU cukup berdiri
pada satu kaki saja, yaitu sebagai jam'iyah diniyah dan ijma’iyah.
Namun, PKB sebagai partai besutan dari NU sendiri melahirkan dualisme
kepemimpinan yang berakhir pada pendongkelan Gusdur sebagai Ketua
Dewan Syuro PKB. Pendongkelan
Gusdur tersebut juga memberi ekses yang kurang baik pada level
akar rumput. PKB sebagai partai yang dilahirkan oleh
NU dan dibidani oleh Gusdur, sampai saat ini belum bisa menyatukan dan
menyuarakan aspirasi warga nahdliyin. Bahkan dalam
banyak kasus, NU justrru dimanfaatkan oleh PKB, ketika
dilain waktu NU butuh bantuan, PKB terkadang kurang maksimal
mengulurkan tangan.
Selain permasalahan Internal PKB, di Internal NU sendiri juga timbul pro kontra
seputar keberadaan khittah. Hal tersebut mencuat pasca muktamar NU
ke-32 di Makassar. Di mana KH. Salahudin Wahid menggagas
terbentuknya Komite Khittah NU dengan tujuan mengembalikan NU pada relnya, yaitu Qanun Azasi
yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan menurut Gus Sholah, pimpinan NU saat ini sangat dekat dengan partai
politik, bahkan
disetir dalam sikap politiknya.
Komite Khittah lahir dari kegelisahan para cucu pendiri NU
yang melihat NU sudah mulai keluar dari khittah dengan ikut berpolitik. Para
cucu muassis ini kali pertama menggelar pertemuan pada 24 Oktober di Ponpes
Tebuireng. Dilanjutkan pertemuan kedua di Ponpes Tambakberas pada 14 November
2018. Bahkan kerja-kerja
Komite Khittah sudah diketahui PBNU dan merekomendasikan Komite Khittah
melanjutkan tugasnya mengembalikan NU ke khittah, termasuk membahas posisi KH
Ma'ruf Amin yang pada waktu itu dicalonkan menjadi cawapres.
Dari dua uraian tersebut, pertama tentang keberadaan NU sendiri yang timbul pro kontra seputar gerakan kembali ke Khittah 1926, yaitu dengan terbentuknya Komite Khittah NU yang diketuai oleh KH. Salahudin Wahid yang nota bene adik Gusdur sendiri sekaligus cucu dari pendiri NU. Serta keberadaan PKB sebagai partai yang dibidani NU, di mana sampai saat ini masih dilanda beberapa permasalahan serta kurang harmonisnya dengan massa akar rumput NU. Jadi ada baiknya NU ke depan untuk mengkaji ulang sepak terjang politik praktisnya selama ini dengan mengembalikan marwah NU kembali pada semangat Khittah NU 1926.
*Penulis
adalah Ketua Lakpesdam MWCNU Pasongsongan
0 Komentar