“Siapa yang mau memberi luka pada orang yang
sangat dia hormati, pada orang yang sangat dia banggakan, dan pada orang yang memberi
segalanya pada kita? Tidak, ada yang bisa mengubah kerasnya hati yang meyakini
tentang apa yang sudah dia jalani selama ini. Tidak ada yang bisa mengubah, dan
tidak akan berubah, kecuali waktu mengubahnya sendiri”
Kicau burung dan bau tanah menjadi
sarapan untuk menyambut segarnya pagi, menapaki segala bentuk aktivitas dan
kembali merencanakan segala angan yang lama mengawang. Awal ini kusambut
segalanya dalam bentuk lekuk di bibir, memberi kepercayaan pada diri sendiri
akan dunia yang begitu keras untuk bisa dijalani oleh satu tubuh saja. Dan aku
tak ingin pikiranku tertuang pada diriku sendiri, aku hanya butuh sandaran
untuk membuktikan pada dunia, dan berteriak bahwa banyak orang yang masih menganggap
adanya aku. Ya, aku. Aku yang sekarang masih menyepi.
Aku adalah anak terakhir dari 4
saudara yang menemukan berbagai warna di dunia yang penuh dengan usaha, dunia
yang penuh dengan candaan dan dunia yang penuh dengan halusinasi, dan aku akan
memeluk segalanya dengan cinta. Cinta, dia yang memberi warna dalam
kehidupanku. Aku bernama Reyhan, putra bungsu dari tulang punggung seorang
nelayan dan ibu seorang pedagang yang begitu keras mendidikku, seperti
gelombang menghantam bebatuan yang akhirnya berlubang juga. Begitulah aku
mengibaratkan tubuhku yang tak mudah percaya pada siapa saja, yang pada
akhirnya mencair juga hati ini karena kegigihan orang tua.
Aku sekarang menjejaki dunia di salah
satu kampus ternama di Indonesia, lebih tepatnya di Jawa Timur. Perjalananku
sudah hampir masuk dua tahun dan artinya sudah hampir masuk pada semester 4 dan
selama itu waktuku dihabiskan di kosan ditemani sahabat aku yakni buku. Aku tidak
suka dunia luar, bahkan sangat membenci keramaian. Suatu hari aku diajak teman sekosku
keluar, sekadar nongkrong dan ngopi bareng sama teman kampus yang lain, tapi
sayang, samas sekali aku tak berminat dengan ajakan itu, “Lanjutkan, Bro. Aku
di kos saja,” jawabku di sela-sela jendela.
Temanku itu pergi dan aku tetap bermesraan saja dengan buku. Aku mungkin
orang yang jauh dengan orang yang sebenarnya dekat sekali denganku, tapi aku
saja yang terlalu asyik dengan kehidupan menyepiku, kehidupan yang tentram dan
begitu tenang aku rasa.
Angin malam sudah aku rasa,
menyentuh sekujur tubuh dan aku berlindung dengan selimut, tapi masih tetap
bermesraan dengan buku. Aku pernah berpikir, bahwa perjalanan hidupku ini,
merenungi dan sekali lagi menyepi sendiri. Tentang dawuh orang tua waktu lalu, “Nak, bermainlah dengan tetanggamu karena
kamu akan butuh mereka suatu saat nanti, dan belajarlah mengenal dunia pada perjalanan
hidup orang lain, karena dunia tak sesepi yang kamu jalani saat ini,” kata
bapak, melalui telfon.
Pagi yang masih buram bercucuran
serpihan embun, dan keadaan dunia masih dingin aku rasa, aku lihat ke atas,
taburan langit dan warna pelangi yang makin redup. Benar saja, tanah masih basah.
Aku bermain ke teman kosku. Aku mengajaknya lari pagi, berkeliling di sekitar
kampus. Tapi dia malah terkejut.
“Kamu benar, mengajakku lari pagi,?” tanya dia dengan muka yang lusuh.
“Lah, iya, Bro. Ayo cepat cuci muka,” ajakku, sambil menarik badannya.
Diapun langsung bergegas ke kamar mandi—cuci muka.
Sekarang, aku yang berusaha lebih
terbuka terhadap dunia, lebih mengenal lagi kehidupan yang tidak sesepi yang bapak
ucapkan waktu lalu dan membuka mata pada kehidupan yang asyik dan menyenangkan,
katanya. Aku dan temanku berlari-lari kecil, menyusuri jalan-jalan, membuat
jejak perjalanan agar bisa, setidaknya, kelak menjadi kenangan dalam hidupku.
“Hei,” tiba-tiba teman kampus memanggilku.
“Hai?”
Aku saling tatap dengannya, dia yang sama kevin di panggil hei. Sampai bunyi klakson memisahkan
pandangan kita.
“Kamu di sini juga?” tanya temanku, menghampiri.
“Iya nih, sama temanku juga,” jawabnya sembari mencuri pandang ke aku.
“Oh, iya. Sudah, lanjtkan saja,” kata temanku.
Sambil mengangguk ke araku, dan aku membalas anggukannya dengan senyuman
tipis. Dan aku melanjutkan lagi lari dengan sejuta tanya di kepala yang
siap-siap akan diberikan kepada temanku, kevin.
Sinar matahari sudah sangat
menyengat dan aku sama kevin mulai bergegas pulang dengan cucuran keringat yang
membasahi tubuh. Aku masih memikirkan perempuan itu masih sangat membekas
diingatan, siapa dia? Kenapa selama ini aku baru tahu dan kenapa kevin tidak
bercerita tentang perempuan itu? Pikiranku masih keras memikirkan.
Kami sampai di kosan, aku membasuh
kaki dan keluar dari kamar mandi.
“Reyhan.”
Suara yang sangat aku kenal setiap mau pergantian bulan.
“Iya bu, heheh”. Aku hanya senyum-senyum
“Kapan mau bayar kosannya?” tanya bu kos dengan perawakan yang begitu
menakutkan.
“Ya bu, saya usahakan bulan ini bu.”
Aku menunduk tidak berani melihat beliau.
“!@#$@!!@%”
Aku bergegas menuju ke kamar dan kevin sudah tertawa terbahak-bahak di
pintu kamarku, aku cuekin saja temanku itu. Setelah bayangan bu kos yang marah
itu hilang, aku mulai sedikit tenang. Lalu dia lagi-lagi datang menghiasi
pikiranku. Dia yang menyapaku lewat anggukan dan senyumannya itu. Aku sangat
ingin tahu tentang dia.
“Kevin, siapa dia tadi yang kamu sapa?” Aku tanpa basa basi langsung to the
point sama kevin yang lagi minum, tiba-tiba dia memuntahkan airnya. “Vin, kamu
kenapa?” aku menatap sinis Kevin.
“Maaf, maaf, han, aku kaget bro, kamu tiba-tiba tanya perempuan yang
sebelumnya kamu hanya berdiam diri di kos,” dia jawab dengan sedikit tertawa
“Ya, siapa dia?” aku maksa kevin.
Sambil aku mengeringkan baju kena tumpahan kevin tadi, aku mendengarkan
jawabannya. Dan sesekali aku menyesali hidup ini, kenapa aku baru kali ini
melihat ciptaan-Nya yang mungkin pelantara dia akan merubah perjalanan hidupku
yang lebih menyukai sepi dari keramaian.
***
Hari-hari selanjutnya aku lebih menyukai
malam, menyukai lampu-lampu, menyukai rerintik hujan yang sesekali
menghangatkan tubuh, dan menyukai bunyi-bunyi makhluk malam yang kian menjadi
teman jalan kita, ya kita! Yang menyatu oleh pandangan dan akan saling
memandang, aku, kamu dan malam dalam pelukan-pelukan.
Cerita ini kita akan lanjutkan,
pada malam yang amat gelap tanpa ada bulan dan bintang, tak ada lagi
bunyi-bunyi. Kini semuanya sunyi tanpa suara dan sesekali hati meramaikan diri
dari namanya yang terus menggema menjadi bunyi dalam sepi. Aku melihat satu
pesan yang masuk di HP,
“Reyhan, tak ada yang suka dari menciptakan kenangan yang tak bisa lagi
diciptakan, tak ada yang suka pada sebuah jejak yang pernah kita buat lalu tak
bisa kita ukir lagi, dan tak ada yang lebih suka dari meninggalkan sebuah rasa
tapi tak sesuai dengan angan yang pernah kita langitkan, aku suka cerita kita,
tapi ini adalah jalan kita semua, kamu punya jalan yang terbaik dan aku mungkin
ini jalan yang terbaik, jadikanlah aku
dalam kisah persahabatanmu yang hebat tanpa mengukir namaku dalam sebutan
pengkhianat, aku suka cerita kita! Dan kamu adalah sahabat terbaikku yang
pernah aku punya”
Firda...
***
Setelah malam itu tanpa bunyi senyap
begitu saja, aku kembali pada Reyhan yang suka pada sunyi, yang suka bermesra
pada buku dan meramaikan diri di kosan yang sunyi dari namanya, nama yang
pernah mengubah jejak hidup menjadi yang lebih terbuka, dan lebih suka malam
lalu lampu-lampu dan bunyi makhluk, kini hanya menjadi kisah yang tak perlu aku
rangkai lagi.
*) Penulis lahir di Lebak
Pasongsongan. Kini kuliah pada Jurursan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.
Ilustrasi: pixabay
0 Komentar