Sastra bukan sekadar bacaan populer yang bersifat menghibur di waktu senggang. Lebih dari itu, sastra merupakan refleksi sosial yang berupaya membangkitkan kesadaran kepada pembacanya tentang realitas dan kemanusiaan.
Hal itu disampaikan Maniro sebagai pengantar saat menjadi moderator pada kajian rutin sastra Lesbumi NU Pasongsongan yang berpusatkan di Auditorium Kantor MWCNU Pasongsongan, pada Ahad (11/04/21) malam.
“Sastra, baik yang hadir dalam bentuk drama, puisi ataupun prosa, sesunguhnya mengajak kita untuk peka terhadap kemanusiaan,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Lesbumi NU Pasongsongan Ahmad Jasimul Ahyak, bahwa sastra tidak bisa lepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyakarat.
“Meskipun sastra merupakan karya imajinatif dan fiktif, namun ia tidak berdiri sendiri dan lepas dari lingkungannya,” ungkapnya.
Karena itu, dirinya berharap agar Fahmi Murad pada cerpen berikutnya mampu mengejawantahkan nilai-nilai sosio-kultural, sehingga karyanya memiliki pengaruh yang signifikan bagi peradaban manusia.
“Sastra merupakan bacaan refleksi bagi tokoh besar dunia, seperti Nelson Mandela, Soekarno, Mahatma Gandhi dan sederet tokoh besar lainnya. Artinya, sastra menginspirasi mereka untuk mengambil langkah yang tepat,” jelasnya.
Sementara itu, Fahmi Murad yang cerpennya menjadi pembahasan utama pada diskusi tersebut juga mengakui bahwa imajinasi kreatif bukan sekadar menyuguhkan sesuatu yang awang-awang, melainkan hadir sebagai bentuk refleksi sosial.
“Sebagai contoh, Gus Mus, Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, WS Rendra dan sederet sastrawan besar lainya berupaya membangun kesadaran melalui karyanya, baik itu tentang kemanusiaan, ketimpangan, ketidak adilan dan lain sebaginya,” pungkasnya.
Pewarta: Atoul Hasan
Editor: Ahmad Junaidi
Dokumen: MWCNU Pasongsongan
0 Komentar