Ilustrasi gambar: doc/g |
Cerpen: Acikku Acik*
Siska, di benakku, selalu ada senyumu. Sebab, pada senyumu, menyeruak bibir bak belahan jeruk yang pernah kuambil dari kebun tetangga. Tapi, mana aku peduli!?
Merly, dalam ingatanku hanya ada hidungmu. Sebab, hidungmu yang
mirip jambu merah milik tetangga itu pernah terjepit di antara kedua bibirku.
Tapi, mana aku peduli!?
Lisa. Ya, Lisa yang kerap kali mendebarkan jantungku akibat di
dadanya yang kian menggunung bak buah pepaya yang bergelantungan hendak lompat
dari pohonnya. Lagi-lagi, mana aku peduli!?
Siska saja yang pernah mengungkapkan hasratnya di hadapanku, begh
hampir kunikmati saking tak beraturannya detak jantungku.
Merly yang–katanya bergelar—si betis mulus itu juga tak kuasa untuk
tak kulayani karena memang membuat air liurku meleleh. Untung saja jemariku kesemutan. Ternyata seekor semut menggigit
ringan. Aku terperanjat. Gelas di dekatku terpental ke
lantai. Semuanya buyar.
Merly keluar. Aku bingung. Apa yang harus kuperbuat?
Lisa. Ya, Lisa. Kau tahu Lisa kan!? Dia keponakan Bun Gaffar,
Kepala Desa Arum Manis, Kecamatan Lebur Ningkong, Kabupaten Terserah. Dia kerap kali duduk santai di bawah pohon
mahoni yang tumbuh rindang di halaman rumahnya.
Dia juga kerap melempar
senyum pada setiap orang yang
menyapanya. Senyum yang luar biasa menggoda dengan mengulum bibir yang aduhai.
Suatu ketika, aku pernah memenuhi permintaannya untuk menemani
dalam satu urusan tertentu di Balai Desa.
Di tengah perjalanan, kami begitu akrab dangan canda-tawa yang
sesekali cubitan mesra mendarat di pipinya yang kinclong. Hingga di perjalanan
pulang. Tepatnya di
bawah pohon monyet, kami duduk melepas lelah.
Di tengah suasana
yang lengang itu. Tiba-tiba saja, berahi memaksa kami untuk saling bercengkrama. Namun, sebelum segalanya terlanjur, ia mengajakku
pulang.
“Pulang ke mana?” Tanyaku terperanjak.
“Ya, ke rumah, lah. Memangnya, mau pulang ke mana?” Jawabnya enteng sebelum kemudian kami pun beranjak
pergi.
* * *
Selepas peristiwa itu, tepatnya tengah
malam, terbayanglah bibir Lisa yang bila hasratku berkendak, musnahlah
kesuciannya yang dipertahankan oleh setiap gadis. Begitu pula dengan Melly dan
Siska yang mungkin nasibnya saja tak jauh beda.
Sungguh, aku tak ingin menodai mereka hanya karena menuruti berahi semata. Agar mereka terbebas, biarlah mereka hanya hidup dalam imajinasiku saja.
Malam semakin larut. Tak terasa, jam dinding meninggalkan tanggalnya. Sementara dalam dadaku masih berkecamuk berpikir
tentang sesuatu yang fana dan abadi; yang mahluk dan Sang Pencipta. Ini tidak bisa seperti memutarbalikkan angka angka. Perlu dramatisir pengalihan jiwa dan rasa.
Kuhilangkan dengan pelan. Kuhancurkan yang fatamorgana. Kusatukan angan, rasa, hati dan pikirku. Keringat mulai bertebaran di sekujur
tubuhku.
Kuketuk pintu langit pertama dengan bergumam, “ibuku,
bukalah rahimmu. Ingin aku kembali lewati pintu rahimmu. Malam ini, anakmu ke
langit pertama”.
Aku terperanjat seperti baru dilahirkan. Tiba-tiba, ibuku berteriak lantang layaknya menantang
malaikat, “keluarlah dari rahimku, anakku. Pergilah ke langit pertama hingga menembus langit terakhir. Dan, bersujudlah di
sidratil muntaha. Aku bersamamu. Aku meridhoimu,
anakku. Jika sampai pada langit pertama dan bergegas ke langit kedua, pamitlah kepada ayahmu. Kelak, ayahmu akan membawamu. Aku dan ayahmu hanya bisa mengantarmu ke
langit ke tujuh hingga menuju
sidratil
muntaha. Tapi, jika dirimu tidak mampu, segera serahkan
hidupmu kepada-Nya agar semuanya teratasi. Ingat baik-baik, anakku.”
Kupertaruhkan kembali di rahim ibuku. Restu ibuku
menyertaiku. Kutengadahkan wajahku. Ayahku sudah
lama melambaikan tangan kepadaku di langit berikutnya. Sementara itu, saat aku menoleh
ke belakang, Siska, Melly dan Lisa bergelayut
di benak.
Siska, Melly dan Lisa, tidurlah kalian dengan nyenyak malam ini. Aku akan pergi tanpa kalian. Tapi, jika kalian ingin bersamaku, kutunggu kalian di
depan pintu gerbang Adam. Namun, jika dalam hitungan
enam puluh detik kali enam puluh menit kalian belum juga datang, maka akan aku tinggal kalian.
Sebenarnya, aku ingin bersama kalian. Duduk saling berhadap-hadapan. Karena itu, malam ini aku mencoba hadirakan kalian dalam batinku.
“Hai, kalian di mana? Kusatukan
batinku dengan batin kalian
agar kalian
rasakan getar rasaku. Mengapa tidak kalian dengar!?”
Malam semakin larut. Sunyi. Sendiri.
Kutumpahkan segala rindu sebagai bukti segala cinta ini kepada Tuhan melalui sukmamu.
“Tuhan, dulu aku bermain-main dengan makhluk-Mu, tanpa kuakui bahwa menikmati makhluk-Mu sama dengan
menikmati cinta-Mu. Tepi saat
ini, malam ini, kutorehkan
cinta ini pada makhluk-Mu untuk
membuktikan cintaku kepada-Mu.
Kugeluti cinta ini dengan segala-galanya kepada makhluk-Mu. Aku telah penuhi syarat cinta-Mu untuk sepenuhnya bercinta dengan-Mu, maka berilah waktu untukku bercinta dengan-Mu malam ini
saja, Tuhanku. Aku
sudah tahu dan rasakan cinta dengan makhluk-Mu.
Berikanlah rasa-MU padaku malam
ini, walau hanya
sepertiga malam terakhir ini. Jika Engkau izinkan, ya Tuhanku
bergelut cinta segalanya bersama-Mu, dan aku
menikmati tanpa lagi rasakan seperti apa dunia ini. Cabutlah nyawaku, biarkan aku selamanya bersama-Mu.
Angin malam menerpa wajahku. Kupejamkan
mataku. Duduk di sajadah
kumal. Kusatukan jiwaku. Kuangkat tubuhku melangkah tanpa menyentuh bumi. Ingin segera memeluk ayahku yang sudah lama lambaikan tangannya.
Kupeluk ayahku ketika dekatku sangat dekat bersama ayahku. Seperti ada isyarah ayahku agar aku berjalan sendiri menuju Sidratal Muntaha, lebih
leluasa.
“Anakku, gurumu menunggumu,” bisik ayahku berpesan.
“Terima kasih, ayahku,” jawabku lirih.
Tak kupedulikan lagi istri dan anak anakku. Lebih-lebih Lisa, milly dan Siskaku. Kupastikan langkahku untuk segera sujud kepada-Nya di Sidratil Muntaha.
Langkah demi langkah kujalani. Rintangan demi
rintangan kulalui. Kumantapkan
tujuanku ke Sidratil Muntaha.
Pintu langit ketujuh terpampang nun jauh di sana. Mulai terbuka. Tepi anehnya, Siska, Melly dan Lisa justru menyambutku.
Yang lebih aneh lagi, mereka
menyambutku dengan tatapan jauh berbeda mengajakku pulang, istri dan anak
anakku dalam musibah. Aku bergeming. Harus
kuselamatkan dulu istri dan anak anakku, baru kumulai lagi perjalanan ini.
Lama aku terdiam dalam
keraguan untuk melanjutkan perjalanan ini. Aku lemah dalam hal ini. Sebab istri adalah pendampingku,
pengganti ibuku, dan hidup-matiku. Begitu pula dengan anak-anakku yang merupakan jantung
hatiku, belahan jiwaku, dan penerus juangku. Mana mungkin kutinggalkan mereka dalam ancaman petaka? Oh, tidak. Tidak akan kutinggalkan mereka. Aku harus segera kembali untuk mereka.
“Cepatlah ke mari anakku,” panggil guruku.
Aku terperangah. Kutembus segalanya, Lisa, Melly dan Siska terbakar tanpa bekas. Kukorbankan
semua yang kucintai demi menuju tujuan.
Di Sidratil Muntaha, kusujudkan
jiwaku. Kutumpahkan
segala apa yang aku rasakan. Tak kuasa kuangkat wajahku. Entah, kekuatan apa
yang membelengguku. Kenikmatan sujud
yang kualami saat ini tak mampu menarik surga.
“Buat apa surga jika tanpa kenikmatan seperti sujud ini. Biarlah tanpa surga, tetapi kenikmatan sujud berlangsung selamanya.”
Hingga satu tangan lembut mengelus rambutku, “bangunlah anakku. Kamu telah
sampai. Ini ibumu. Ini ayahmu, dan aku gurumu.”
Andai dulu, ketika saat aku masih berguru belum sempat mencuri
memandang wajah guruku, tak kan pernah tahu di tempat ini mengenal guruku.
Ternyata usia dan semua postur tubuh para penghuni Sidratul Muntaha sama,
tidak ada perbedaan. Hanya wajah yang bisa kukenali.
Hening!
Motivasiku kembali bangkit dengan tulus. Tuhan, berilah jalan-Mu.
Kami berempat sujud kembali menikmati nikmatnya sujud Ilahi Robbi. Tak terkirakan indah dan syahdunya sujud ini, hingga tak kuingat
lagi bersama siapa aku saat ini, di sini.
Istri dan anak anakku tersenyum meskipun aku belum kembali. Susullah aku istri dan anak-anakku jika
kalian ingin bersamaku.
Lalu aku terdiam. Lama terdiam. Membisu. Di mana aku. Tak tahu lagi, dengan
siapa aku tak kuhiraukan lagi.
Majnun!
Majnun murakkab.
Diam lagi dan diam lagi.
Aku bodoh. Sungguh bodoh. Semakin bodoh. Semakin lama semakin bodoh.
Goblok!
Kamu yang goblok.
Coba diam, diam.
Kamu!
Goblok!
Yang baca ini, goblok. Pasti goblok (berjamaah).
Kubuka kelopak mataku. Gerombolan LTN
NU Pasongsongan mengerumuniku, dan tawarkan secangkir kopi.
”Kopi Bro!?” (kopi goblok)
Pasongsongan, 2021
-----------------
0 Komentar