Virus Corona
Hening kian mengalir tanpa kata
Sayup-sayup kekosongan dunia
Di sana-sini terombang-ambing
Oleh bayangan kelam yang membawa kabar duka
Engkau terbang bebas ke mana saja
Di udara...di lautan...di daratan
Kau siram mangsamu
Dengan racun yang menyakitkan
Membuat manusia lemah tak berdaya
Beribu jiwa kau bakar tubuhnya
Mati terkapar seketika
Wahai corona...
Dengan adanya banyak kematian
Engkau membuatmu lega
Apakah ini mungkin pertanda?
Karena adanya kedzoliman sang penguasa
Sehingga Negeri ini menjadi binasa
Terluka
Kita adalah luka
Luka yang belum tersembuhkan
Rasa sakit itu sebenarnya ada
Dalam kesedihan yang panjang
Rasa takut yang tak pernah padam
Luka hanyalah dramatisasi
Ketidakmampuan kita
Menangkap sinyal tuhan
Kelana
Aku ingin memelukmu dari jauh
Untuk apa kau sibuk mencari pada keheningan
Tanpa rindu
Tanpa rasa
Hanya kebekuan ingin merengkuhmu
Tanpa birahi
Aku hanya kelana berlumur nestapa
Ingin jejaki jalanan pada keabadian
Sampai perih memeluk lelah
Pada cinta yang tak mau pulang
Pada rahasia dibalik Tuhan
Kerut Waktu Sang Tuah
Keriput wajah senjamu
Serupa usia dedauanan lepas
Rambut sewarna kapas
Tumbuh...
sebunga layu
Tumbuh...
satu-satu
Tiap kali detik usiamu
Gugur dari pohon yang ranggas
Menuju ke tanah kubur
Kau adalah sang tuah
Tergurat kerut waktu di wajahmu
Dalam dawai malam yang rimba
Lantunan suara dzikirmu
Laa ilaaha illallah...
Astaghfirullah...
Subhanallah...
Alhamdulillah...
Allahhu akbar...
Menyebar aroma wangi
Di sela rukuk dan hamparan tawarruk
Menyatu dalam sujud
Pada telaga AlifMu.
Racun Betina
Kau bilang...!
Aku pengembara malam
Mengoyak hening kehidupan
Para si hidung belang
Kau bilang...!
Aku jalang malam
Yang menindih hitam bayangan
Para sang pelanggan
Kau bilang...!
Aku kupu-kupu malam
Hanya ber-bahasakan tubuh
Menjepit erat geliat otot telanjang
Akulah sang betina pemuas nafsu
Yang racuni...pikiranmu
Yang racuni...keluargamu
Yang racuni...kekayaanmu
Yang racuni...birahimu
Hingga berakhir di kamar telanjang
Puas...! Saling tatap
Selesai...! Hingga klimaks.
Inspirasi Sang Tokoh
Bulan sabit menggantung separuh di malam itu berteman bintang-bintang menghias langit. Kecupan mesra embun malam tanah Keraton menghadirkan keindahan bumi surga para raja-raja. Semua keindahan malam itu nampak bayangan senyum sang tokoh Budayawan asal kota Sumekar, dia Syaf Anton W.R yang selalu memberikan inspirasi, passion, dan memberikan semangat serta pengalaman baru dalam hidup kita.
Terimakasih engkau telah bersamaku menjadi bulan kala gelap malam. Menjadi mentari yang hangat, dan juga menjadi senja dikala temaram. Walau jarak kita terbentang jauh, tapi hati kita tetap menyatu 'Satu Hati Satu Jiwa' dalam berinspirasi lewat seni dan budaya untuk kemajuan tanah keraton Sumekar ke depan.
Sang Pejalan Kaki
Kepada siapa aku melangkah
Kalau tidak kepada mendung
Yang akan menetaskan hujan
Kupeluk hingga basah bersama kesedihan
Ribuan langkah jejak kaki menelusuri kusutnya jalan
Pada ribuan kopi jalanan selalu aku teguk
Karena kopi adalah medan kelanaku
Yang paling curam dalam sajadah cinta
Bersama beberapa cermin usang sejarah
Dalam kesendirianku
Setiap detik aku selalu bersujud
Diantara kening beradu di atas sajadahMu
Kalau bukan petualang
Kemana kutaruh gelapnya malam
Saat kemarau gersang
Merampasnya...
Merebutnya...
Dari dingin yang tenang
Kalau bukan pejalan kaki
Pada siapa langkah kaki ini ku tanya jalan
Hanya takdir mengantarkan kebahagiaan
Di keabadian hidupku
--------------
*Penulis adalah Novelis, Penyair dan Cerpenis. Lahir di Pasongsongan, Sumenep.
Tulisannya sudah dimuat diberbagai media online. Selain menulis sastra, dia juga menggeluti seni rupa.
0 Komentar